Peluang
dan Tantangan Pengembangan Agribisnis
Tanaman
Obat Rimpang
Rimpang
Pengembangan
tanaman rimpang sebagai tanaman obat tradisional di Indonesia masih mempunyai prospek yang
sangat cerah untuk masa depan, jika dilihat dari permintaan pasar baik pasar domestik maupun pasar ekspor, total pasar
domestik obat herbal senilai 4 Triliun dan pasar ekspor US $ 30 – 40 juta pada
tahun 2005 (Kimia Farma, 2005). Oleh karenanya perlu ditangani lebih terarah
untuk dapat menghasilkan produksi dan mutu hasil yang tinggi serta
berkesinambungan. Untuk maksud tersebut
usaha taninyapun haruslah menggunakan teknologi maju dan dikelola secara
profesional, efektif sejalan dengan kaidah Budidaya yang baik dan benar/Good
Agriculture Practicies (GAP), agribisnis dan agroindustri.
Kunci utama untuk penumbuhan
usaha agribisnis adalah penguasaan target pasar yang jelas, kemampuan bersaing
dari produk sejenis, mutu, harga, pelayanan dan kontinyuitas suplai. Agribisnis
dengan skala menengah hingga besar memerlukan tambahan persyaratan kualitas
produk yang memenuhi skala ekonomi dan penyediaan produk secara kontinyu.
Berbagai
peluang dan tantangan yang dihadapi dalam rangka pengembangan agribisnis
tanaman obat rimpang ke depan diantaranya adalah ketersediaan lahan usaha, sumberdaya manusia, kelembagaan
petani, peluang pasar serta tantangan yang dihadapi yaitu ketersediaan
permodalan, teknologi budidaya, penyediaan benih, serangan organisme pengganggu
tanaman, perubahan iklim, kontinyuitas pasokan produk, standardisasi produk,
serta kemampuan daya saing produk.
A.PELUANG PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN OBAT RIMPANG
Seperti yang telah
disebutkan diatas bahwa peluang dalam pengembangan agribisnis tanaman obat
rimpang dapat diuraikan sebagai berikut :
1.Lahan Usaha
Tersedianya
lahan-lahan potensial untuk pengembangan
hortikultura khususnya tanaman obat rimpang, yang mencakup lahan tegalan/kebun,
lahan yang tidak digunakan (terlantar), lahan pasang surut, maupun lahan
perkebunan terlantar. Pada tahun 1998
tercatat lahan tegalan seluas 8.383.599 ha, lahan ladang seluas 3.179.213 ha,
dan lahan yang sementara tidak digunakan seluas 7.335.586 ha. Walaupun lahan tersedia cukup luas namun
tingkat kesuburan umumnya rendah.
Hasil
penelitian penulis tahun 2001 yang dilakukan dibeberapa sentra tanaman obat
rimpang pada tingkat petani, luas lahan
yang digunakan untuk tanaman obat khususnya jahe berkisar antara 0,25 – 1,0 Ha,
hal ini merupakan potensi yang cukup baik untuk pengembangan di Jawa Timur.
Potensi lahan tanaman obat selain ditanam di kebun juga di lahan pekarangan
dimana potensi lahan pekarangan di Jawa Timur seluas 593.859 Ha. Kemudian
ditinjau dari aspek agronomi tanaman obat, kondisi lahan, iklim, tanah, curah
hujan di Jawa Timur sangat menunjang.Dengan demikian potensi lahan usaha untuk
tanaman obat di Jawa Timur merupakan satu kekuatan.
2.Sumber daya manusia
Faktor
yang mendukung pengembangan tersebut selain besarnya potensi kekayaan
sumberdaya alam sebagai sumber bahan baku simplisia yang dapat diformulasikan
menjadi obat tradisional, kemudian keikutsertaan segenap lapisan
masyarakat/petani tanaman obat, penjual, pemakai maupun masyarakat lain yang
secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tanaman obat
tradisional sangat penting.
Ditinjau
dari aspek jumlah, sebaran serta kualitas penduduk/petani maka masalah
sumberdaya manusia sebagai pelaku utama pengembangan agribisnis tanaman obat di
Indonesia relatif cukup menunjang. Jumlah penduduk yang cukup besar dalam
posisi penyebaran merata akan sangat menunjang untuk pengembangan agribisnis
tanaman obat.
3.kelembagaan petani
Kelembagaan
yang sudah tumbuh di tingkat masyarakat petani di pedesaan atau yang dinamakan
kelompok tani memiliki potensi yang sangat besar menjadi pendamping dan
penggerak bagi tiap usaha tani. Peranan kelompok tani sangat strategis dalam
mengembangkan skala usaha agribisnis yang lebih
ekonomis dan efisien. Untuk itu dalam rangka pemberdayaan petani sebagai
pelaku utama agribisnis khususnya tanaman obat rimpang, perlu menumbuh
kembangkan kelompok tani disertai pembinaan secara langsung di lapangan dan
bertahap sampai kelompok tani tersebut mampu mandiri.
4.pemasaran
Mekanisme
pemasaran tanaman obat selain di dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan dalam
negeri (pabrik jamu, racikan, industri rumah tangga pembuatan obat
tradisional), tanaman obat juga ditujukan untuk memenuhi permintaan dari luar
negeri (ekspor).
Dilihat dari permintaan
pasar baik permintaan dalam negeri maupun ekspor, prospek pemasaran tanaman
obat terutama jahe mempunyai peluang pasar yang cukup baik. Data dari PT. Jamu
Jago yamg disampaikan pada pertemuan forum komunikasi agribisnis tanaman obat
di Jakarta (2000) bahwa daya serap satu industri jamu, misalnya dari PT. Jamu
Jago terhadap tanaman berkhasiat obat mencapai sekitar 3.090 ton pertahun.
Perkembangan industri jamu di Jawa Timur juga cukup pesat, sampai dengan saat
ini ada 56 perusahaan yang bergerak dalam industri obat tradisional atau jamu
dengan kebutuhan bahan baku tanaman berkhasiat obat. Cukup besar permintaan
jahe Indonesia di pasar internasional yang selalu meningkat setiap tahunnya,
data tahun 1981 – 1989 menunjukkan rata – rata peningkatan mencapai 43,17%.
Sedangkan perkembangan ekspor jahe segar
Jawa Timur mulai tahun 1995 – 1999 perkembangan ekspor meningkat sebesar
60,47% setiap tahunnya (Laporan tahunan Diperindag Prop. Jatim, 1999).
5.Peluang eksport
Pengembangan
ekspor tanaman obat di Indonesia umumnya dan Jawa Timur khususnya mempunyai
prospek yang sangat cerah. Peluang ekspor sangat terbuka lebar untuk tingkat
Asia maupun Eropa. Namun demikian dalam pelaksanaannya terdapat kendala –
kendala dalam usaha menembus pasar luar negeri yang meliputi kualitas dan
kontinyuitas produk, persaingan harga dan pengolahan hasil produksi.
Berdasarkan
data ekspor tanaman obat menurut negara tujuan ekspor, maka Hongkong merupakan
pasaran utama tanaman obat Indonesia, karena mempunyai nilai ekspor yang paling
besar, walaupun nilai setiap tahunnya berfluktuasi. Rata – rata ekspor tanaman
obat ke Hongkong setiap tahun sebesar 730 ton dengan nilai sebesar US $ 526,6
ribu. Dengan tingkat pertumbuhan ekspor tiap tahunnya mencapai sebesar 29,7%
untuk volume dan 48,2% untuk nilai. Ekspor terbesar kedua adalah ke Singapura,
dengan rata – rata ekspornya setiap tahun mencapai 582 ton dengan nilai sebesar
US$ 647 ribu dan tingkat pertumbuhan ekspornya mencapai 1,3% untuk volume dan
13,4% untuk nilai. Jerman merupakan tujuan ekspor terbesar ketiga, dengan
tingkat ekspor setiap tahunnya mencapai sebesar 155 ton dengan nilai sebesar
US$ 112,4 ribu. Sedangkan tujuan ekspor tanaman obat Indonesia berikutnya
adalah ke Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Malaysia. (Chanisah. S, 1995).
Dengan melihat perkembangan ekspor baik tingkat nasional
maupun regional, maka peluang ekspor untuk tanaman obat sangat menjanjikan.